Dumai – Di balik pelayanan digital dan kemudahan pemesanan tiket via WhatsApp yang diterapkan di penyeberangan Roro Dumai–Rupat, justru menyembul praktik mencengangkan: truk-truk sawit bertonase besar dan tangki CPO milik perusahaan bebas naik kapal, diduga kuat melebihi kapasitas yang diperbolehkan. Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif—ini ancaman langsung terhadap keselamatan pelayaran dan keadilan akses publik.
Lebih ironis lagi, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Dumai, Diaz Saputra, S.Si.T, saat dikonfirmasi media ini pada Kamis, 3 Juli 2025, justru menyampaikan pernyataan yang menimbulkan tanya besar:
“Boleh saja mobil truk muatan naik ke Roro asal mereka beli tiket,” ujarnya singkat.
Pernyataan itu seolah menunjukkan bahwa pembelian tiket menjadi legitimasi mutlak, tanpa mempertimbangkan beban muatan, batas tonase, dan regulasi teknis keselamatan.
Regulasi Dilanggar, Risiko Ditinggalkan
Padahal, regulasi perundang-undangan tentang batas tonase dan keselamatan pelayaran sudah sangat tegas:
Permenhub No. PM 104 Tahun 2017: mengatur operasional angkutan penyeberangan.
Permenhub No. PM 62 Tahun 2019: menetapkan standar pelayanan minimal penyeberangan.
KM 52 Tahun 2004: mewajibkan pengikatan kendaraan, alat pengaman roda, dan keselamatan teknis di atas kapal.
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 169 ayat (1):
> Pelanggaran atas batas daya angkut kendaraan dapat dikenakan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.
Namun dalam praktiknya, sanksi ini bagai tak bertaring. Truk-truk sawit overtonase tetap naik ke kapal Roro tanpa diperiksa, tanpa ditimbang, dan tanpa dikontrol secara menyeluruh.
Roro Milik Rakyat atau Milik Korporasi?
Truk-truk perusahaan besar terus mendominasi ruang muat kapal Roro Dumai–Rupat. Tak hanya mengancam keselamatan dan mengabaikan regulasi, praktik ini secara nyata menggusur hak masyarakat umum dalam mengakses layanan penyeberangan publik.
Dengan beban berlebih dan alat pengikat muatan yang minim, risiko kecelakaan seperti kapal miring, tergelincir, atau bahkan tenggelam bukan lagi kemungkinan, tapi tinggal menunggu waktu. Sementara negara justru terkesan permisif dan lalai.
Desakan Keras Kepada Negara: Tegakkan Hukum atau Turunkan Pengelola!
Kami mendesak:
Dirjen Perhubungan Darat dan Ditjen Perhubungan Laut segera mengaudit total operasional Roro Dumai–Rupat.
Kementerian Perhubungan mengevaluasi pernyataan dan tanggung jawab Kepala KSOP Dumai.
Penegak hukum dan Polda Riau mengambil langkah nyata menindak truk overtonase yang melanggar UU 22 Tahun 2009.
Negara tak boleh kalah oleh tiket dan truk. Tiket bukan pembenar pelanggaran hukum. Kalau keselamatan dikorbankan demi korporasi, lalu untuk siapa pelabuhan ini berdiri?
Inovasi Tanpa Penegakan Adalah Ilusi
Penerapan sistem tiket online via WhatsApp oleh Henri Mardani, SH, MH, Kepala UPT Pengelolaan Perhubungan Wilayah I, memang langkah maju dari sisi pelayanan. Tapi tanpa pengawasan dan penindakan, semua itu hanya menjadi pemanis layanan yang tak menyentuh substansi: keselamatan dan keadilan.(tim)