Secangkir Kopi, Wedang Jahe, dan Harapan untuk Pendidikan yang Lebih Manusiawi

Blog, Daerah, Nasional7 Dilihat
banner 468x60

Pekanbaru, – Di tengah hiruk-pikuk kebijakan dan aturan yang semakin kompleks, sekelompok anak bangsa duduk bersama, menyatukan hati dalam secangkir kopi dan hangatnya wedang jahe. Di sebuah ruang diskusi sederhana, lahir suara-suara jujur tentang keresahan para orang tua dan calon peserta didik yang merasa dipersulit dalam proses Penerimaan Murid Baru (SPMB).

 

banner 336x280

Kami, saya Rahmat Handayani (RH), bersama Bung Eed Azhar, Ari Rinaldi, Willy, dan Triawan dari Forum Pekanbaru Bicara (FPB) berbagi keresahan tentang sistem yang seharusnya menjadi jembatan, namun justru berubah menjadi tembok bagi masa depan anak-anak bangsa.

 

“Seharusnya pemerintah menjadi ayah yang melindungi, bukan menjadi penjaga gerbang yang mempersulit.”

Inilah kalimat yang terucap dalam diskusi kami, ketika mengetahui bahwa kini dalam proses penerimaan murid baru, terdapat persyaratan tambahan yang tidak masuk akal seperti melampirkan surat keterangan buta warna, meski tidak berkaitan langsung dengan jalur pendidikan umum.

 

Sungguh ironis, di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, justru aturan-aturan kecil menjadi batu sandungan bagi anak-anak dari keluarga biasa yang ingin mengenyam pendidikan di lingkungan mereka sendiri.

 

Padahal Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, dengan jelas telah menyatakan:

 

> “Tidak boleh ada anak Indonesia yang gagal sekolah hanya karena aturan yang mempersulit.”

 

 

Dalam suasana akrab penuh keprihatinan, diskusi kami menghasilkan beberapa poin penting yang menjadi harapan bagi para orang tua dan anak-anak di Riau, khususnya Pekanbaru:

 

1. Jalur Domisili Dipermudah

Cukup lampirkan Kartu Keluarga (KK) dan surat keterangan domisili dari kelurahan yang menyatakan bahwa anak tersebut sudah berdomisili selama 1, 2, 3, 4 atau 5 tahun. Ini menunjukkan keterikatan mereka dengan lingkungan sekitar.

 

 

2. Pertimbangan Jarak Tempuh

Penentuan sekolah berdasarkan jarak dari RT/RW setempat, agar anak-anak tidak perlu menempuh perjalanan jauh yang melelahkan demi menuntut ilmu.

 

 

3. Pisahkan Jalur Prestasi dan Domisili

Jalur domisili seharusnya tidak diganggu gugat oleh nilai akademis. Biarkan nilai menjadi tolak ukur di jalur prestasi. Karena tempat tinggal adalah hak dan fakta sosial, bukan kompetisi.

 

 

> “Pendidikan adalah hak, bukan hadiah. Setiap anak harus mendapatkannya dengan mudah, bukan dengan melewati rintangan yang dibuat manusia dewasa.”

 

Kami berharap Gubernur Riau dan seluruh pemangku kebijakan pendidikan di wilayah ini segera bertindak cepat bukan hanya mendengar, tapi juga merasa. Karena kadang, yang dibutuhkan bukan sekadar peraturan, tapi keberanian untuk menyederhanakan demi masa depan.

 

Mari, buka mata… dan buka hati.

Karena dari secangkir kopi dan wedang jahe, kami belajar bahwa masalah serumit apa pun bisa diselesaikan, asal ada niat dan nurani yang ikut bicara.**

banner 336x280