Suara Dari Mahasiswa Hukum UNILAK: Kejahatan Riau dalam Perspektif Filsafat Hukum

Blog, Daerah, Nasional19 Dilihat
banner 468x60

Pekanbaru Riau, sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alam di Indonesia, menghadapi tantangan serius dalam bidang penegakan hukum, khususnya terkait tindak kejahatan yang kompleks dan berlapis. Dari kejahatan lingkungan, korupsi sumber daya, hingga kriminalitas sohuku. Wajah kejahatan di Riau tidak hanya menjadi persoalan hukum positif, tetapi juga menjadi perenungan mendalam dalam filsafat hukum.

 

banner 336x280

Dalam diskusi akademik yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, dua orang narasumber, M. Afdhal Pangendra dan Reza Herwendi, dalam pandangan filosofis mereka tentang fenomena kejahatan di Riau.

 

Kejahatan: Gejala Sosial atau Pelanggaran Moralitas? M. Afdhal Pangendra, mahasiswa mata kuliah filsafat hukum Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, memulai dengan mengangkat pertanyaan mendasar: Apakah kejahatan di Riau sekadar pelanggaran hukum formal atau cerminan dari krisis nilai dalam masyarakat?

 

Menurutnya, dalam pendekatan filsafat hukum alam (natural law), hukum tidak hanya dilihat sebagai seperangkat aturan, melainkan sebagai produk moralitas dan rasionalitas manusia. “Ketika hukum hanya dijalankan sebagai teks tanpa jiwa, maka keadilan menjadi asing di negeri sendiri. Kejahatan di Riau, seperti pembakaran hutan atau korupsi izin tambang, bukan hanya pelanggaran administratif, tapi perlawanan terhadap nilai keadilan itu sendiri,” tegas Afdhal.

 

Ia menambahkan, bahwa kejahatan yang terus terjadi menunjukkan kegagalan Negara menghadirkan hukum yang bermakna dan adil. Hukum tidak boleh netral terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan lingkungan.

 

Hukum Positif dan Kerapuhan Institusi

Sementara itu, Reza Herwendi, mahasiswa Universitas Lancang Kuning, menyoroti problem kejahatan di Riau dari sudut pandang positivisme hukum. Ia berargumen bahwa banyak kejahatan terjadi karena lemahnya law enforcement serta absennya kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

 

“Dalam positivisme hukum, yang menjadi ukuran sah adalah peraturan yang berlaku. Tapi di Riau, kita menyaksikan bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik kerap membajak proses legislasi maupun penegakan. Akibatnya, hukum kehilangan kekuatan koersif dan normatifnya,”ujar Reza

 

Ia menilai bahwa penegakan hukum di Riau masih cenderung transaksional, dan ini menciptakan ruang bagi kejahatan terstruktur untuk berkembang. Menurutnya, reformasi hukum harus dimulai dari pembersihan institusi, disertai kesadaran etis dari aparat penegak hukum.Keadilan Substantif sebagai Tujuan Hukum.

 

Kedua narasumber sepakat bahwa pendekatan formalistik tidak cukup untuk menyentuh akar masalah. Hukum harus mengejar keadilan substantif, yaitu keadilan yang hidup dalam realitas sosial masyarakat.

 

Afdhal menegaskan, bahwa pendekatan hermeneutika hukum bisa menjadi jalan keluar. “Kita perlu menafsirkan hukum bukan hanya dari teksnya, tapi dari konteks sosialnya. Mengapa kejahatan lingkungan dibiarkan? Apa relasi kuasa yang bermain? Ini bukan sekadar soal legal atau ilegal, tapi adil atau tidak,” Ucapnya penuh tanda tanya.

 

Perlunya sinergi antara hukum formal, nilai etis, dan kesadaran publik. “Selama masyarakat pasif dan hukum menjadi alat elite, kejahatan akan terus berjubah legitimasi,” sambung Reza

 

Penutup: Antara Hukum, Moral, dan Kemanusiaan Kejahatan di Riau bukan sekadar statistik kriminalitas, melainkan cermin kegagalan hukum sebagai penjaga moralitas dan keadilan. Dari sudut pandang filsafat hukum, sebagaimana disampaikan oleh M. Afdhal Pangendra dan Reza Herwendi, kejahatan tidak cukup dijawab dengan pasal, tetapi harus ditanggapi dengan perenungan nilai, struktur kuasa, dan reformasi etik.Hukum yang adil bukanlah hukum yang sekadar legal, tetapi yang mampu menjawab tuntutan moral, sosial, dan kemanusiaan secara utuh.

 

“Di Riau, hukum tidak boleh hanya hadir di ruang sidang. Ia harus hidup dalam kesadaran masyarakat dan keberpihakan kepada yang lemah.

 

“Hukum tanpa etika hanyalah prosedur kosong. Riau butuh hukum yang membebaskan, bukan menindas dalam diam.” demikian diungkapkan kedua narasumber mahasiswa Hukum fakultas lancang kuning, Reza Herwendi dan M. Afdhal Pangendra.(kumbang)

banner 336x280